Posted by : Unknown
Rabu, 02 April 2014
Muqaddimah
Sudah tidak asing lagi mendengar kata “filsafat”, terlebih bagi mereka yang belajar di lingkungan universitas. Keberadaan filsafat menjadi “hidangan” yang turut menyambut para Mahasiswa dalam proses pembelajaran. Di satu sisi, filsafat menyuguhkan cara berfikir kritis,
mengungkap sesuatu hingga pada
hakekat sebenarnya. Berfikir semacam ini memang menjadi tuntutan seorang
Mahasiswa dalam upaya membangun kerangka berfikir kritis. Namun, pada sisi yang
lain, kekritisan berfikir yang diajarkan oleh filsafat lebih banyak menabrak
norma-norma ‘aqidah. Sehingga eksistensinya justru menjadi racun mematikan bagi
para Mahasiswa.Sudah tidak asing lagi mendengar kata “filsafat”, terlebih bagi mereka yang belajar di lingkungan universitas. Keberadaan filsafat menjadi “hidangan” yang turut menyambut para Mahasiswa dalam proses pembelajaran. Di satu sisi, filsafat menyuguhkan cara berfikir kritis,
Padahal
jika kita tengok, Filsafat merupakan salah satu mata kuliah yang wajib untuk
ditempuh. Mempelajarinya tentu memerlukan persiapan ilmu yang benar. Bayak buku
tentang Filsafat yang telah ditulis dan diterbitkan. Kuatnya dominasi
sekulerisme –paham yang menolak campur tangan agama-dalam bidang keilmuan
kontemporer, turut berpengaruh dalam perumusan konsep Filsafat yang diajarkan
di perguruan tinggi.
Selain buku, gaya pemikiran para filosof Yunani pun tak ketinggalan menghiasi worldview (cara pandang) Mahasiswa terhadap sesuatu. Gaya berfikir bebas menjadi kerangka acuan dalam filsafat. Hal ini sebagaimana buku Filsafat Ilmu karya para Dosen filsafat UGM memberikan sejumlah kriteria dalam “berfikir filsafat” seperti, radikal, universal, konseptual, koheren dan konsisten, sistematis, komprehensif, bebas, dan bertanggung jawab. Tentang berfikir bebas dijelaskan:
“Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas sampai batas-batas yang luas, maka setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil pemikiran yang bebas, bebas dari prasangka-prasangka social, historis, cultural atau pun religious… Ditinjau dari aspek ini, berfilsafat dapatlah dikatakan: mengembangkan pikirang dengan insaf, semata-mata menurut kaidah pikiran itu sendiri.” (hlm. 13-15)
Selain buku, gaya pemikiran para filosof Yunani pun tak ketinggalan menghiasi worldview (cara pandang) Mahasiswa terhadap sesuatu. Gaya berfikir bebas menjadi kerangka acuan dalam filsafat. Hal ini sebagaimana buku Filsafat Ilmu karya para Dosen filsafat UGM memberikan sejumlah kriteria dalam “berfikir filsafat” seperti, radikal, universal, konseptual, koheren dan konsisten, sistematis, komprehensif, bebas, dan bertanggung jawab. Tentang berfikir bebas dijelaskan:
“Berfikir secara kefilsafatan dicirikan secara bebas sampai batas-batas yang luas, maka setiap filsafat boleh dikatakan merupakan suatu hasil pemikiran yang bebas, bebas dari prasangka-prasangka social, historis, cultural atau pun religious… Ditinjau dari aspek ini, berfilsafat dapatlah dikatakan: mengembangkan pikirang dengan insaf, semata-mata menurut kaidah pikiran itu sendiri.” (hlm. 13-15)
Framework
semacam itu tentu tidak bisa diterapkan dalam konsep Islam. Dimana dalam Islam
prinsip berfikir sangatlah terbatas. Akal yang menjadi kata kunci berfikir
haruslah selalu berada dalam bimbingan wahyu ilahi. Misalnya, batasan dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kaum Muslim berfikir tentang
ciptaan Allah, bukan tentang Dzat Allah (Tafakkaruu fii khalqillah wa laa
tafakkaruu fii dzatihi).
Sekulerisasi
Ilmu dan Paham Atheistik
Proses
sekulerisasi ilmu ini dimulai ketika seorang filsuf Barat, Rene Descartes, yang
memformulasi sebuah prinsip, “aku berfikir maka aku ada”. Dengan prinsip ini,
Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur
kebenaran. Sama seperti pemikiran para filsuf yang lain, kedudukan wahyu
sebagai sumber ilmu telah tergantikan oleh indera (empiris) dan akal
(rasional). Persis apa yang dianut oleh Plato, guru Aristoteles. Dia
mengajarkan bahwa untuk mengenal pengetahuan harus melalui dua cara, yakni
pengenalan indrawi dan pengenalan akal.
Sedangkan
agama –dalam pandangan mereka- tidaklah menjadi prioritas utama dalam sebuah
pengetahuan. Sebagaimana pandangan teori Positivisme Auguste Comte yang
meletakkan agama sebagai pengetahuan yang paling primitif dan akan punah saat
manusia memasuki era positivisme dan empirisme.
Sejalan
dengan pemikiran di atas, Ludwig Feurbach, salah seorang pelopor paham atheisme
di abad modern, menganggap, bukan Tuhan yang menciptakan manusia tetapi
sebaliknya Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia. Tuhan adalah hasil
proyeksi diri manusia. Kekuatan dan kemampuan manusia lalu diproyeksikan ke dalam
Tuhan yang dimunculkan sebagai Yang Maha Kuasa dan Maha Sempurna. Terpengaruh
dengan karya Feurbach, Karl Max (penganut aliran konflik) berpendapat agama
adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia
adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Agama adalah candu masyarakat. Dalam
pandangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah
ekonomi. Selain itu, dia juga berpandangan bahwa agama tidak lain adalah produk
dari masyarakat kelas dan merupakan ekspresi dari kepentingan kelas. Dalam hal
ini, agama dijadikan alat untuk memanipulasi dan menindas terhadap kelas bawah
dalam masyarakat. Dengan penindasan yang terjadi, agama lalu menjadi tempat
untuk mengharapkan hiburan akan dunia mendatang. Lebih lanjut ia mengatakan,
agama tidak menghasilkan solusi yang nyata dalam pengusahaan peningkatan
kesejahteraan material. Agama hanya berfikir menganai hal-hal surgawi sehingga
membuat orang melupakan penderitaan material yang ia alami.
Dalam
pandangan mereka, sangat terlihat jelas proses sekulerisme ilmu pengetahuan
berlangsung. Melepaskan agama dari lini-lini kehidupan masyarakat bukanlah
sebuah solusi. Melainkan sebuah sikap yang akan menggiring manusia pada
keterpurukan moral yang sangat jauh.
Hal inilah yang menjadi salah satu pengacau dalam kurikulum pendidikan kita saat ini. Di lembaga-lembaga Islam yang ada, terjadi confusion (kekacauan) dalam ilmu-ilmu agama. Gejalanya, sudah menyebar apa yang disebut oleh Dr. Syamsudin Arif sebagai “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan nilai serta kegagalan akal yang pada gilirannya menggerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan kekufuran.
Hal inilah yang menjadi salah satu pengacau dalam kurikulum pendidikan kita saat ini. Di lembaga-lembaga Islam yang ada, terjadi confusion (kekacauan) dalam ilmu-ilmu agama. Gejalanya, sudah menyebar apa yang disebut oleh Dr. Syamsudin Arif sebagai “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan nilai serta kegagalan akal yang pada gilirannya menggerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan kekufuran.
Gejala
orang yang mengidap kanker jenis ini, di antaranya suka berkata, “Di dunia ini,
kita tidak akan menemukan Kebenaran absolute (mutlak), kita hanya akan
menemukan kebenaran relatif”. Atau dengan perkataan, “Semua agama benar sesuai
dengan posisi dan porsinya masing-masing”. Dan perkataan lain yang sejenis
dengan itu.
Sebagaimana
telah kita ketahui, kanker epistemologis di atas sudah banyak menjangkiti para
cendekiawan Muslim tanah air. Pemikiran seperti ini akan banyak kita jumpai di
perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam yang tersebar di seluruh nusantara.
Pemikiran semacam ini tentu merupakan bagian dari upaya pendangkalan ‘aqidah
para sarjana Muslim. Pemikiran mereka digiring ke ranah abu-abu yang tidak
jelas muaranya.
Di
perguruan tinggi Islam secara resmi diajarkan prinsip pluralisme agama,
keyakinan yang akan menggiring pada pembenaran semua agama. Konsekuensinya,
dibenarkan pula pernikahan antar agama, mengucap selamat natal kepada pemeluk
agama Kristen, do’a bersama antar agama, yang kemudian dikodifikasikan menjadi
Fiqh Lintas Agama.
Tak hanya itu, penanaman metode tafsir Hermeunitika juga tak ketinggalan diajarkan. Dengan dalih sebagai terobosan baru dalam ilmu tafsir, secara tidak langsung Hermeunitika mengajak manusia untuk berfikir kufur. Karena Hermeunitika adalah tafsir Bible. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Bible adalah hasil karangan manusia yang tidak bisa dikatakan sebagai kitab suci.
Tak hanya itu, penanaman metode tafsir Hermeunitika juga tak ketinggalan diajarkan. Dengan dalih sebagai terobosan baru dalam ilmu tafsir, secara tidak langsung Hermeunitika mengajak manusia untuk berfikir kufur. Karena Hermeunitika adalah tafsir Bible. Sebagaimana kita ketahui, bahwa Bible adalah hasil karangan manusia yang tidak bisa dikatakan sebagai kitab suci.
Filsafat
Islam
Bagaimanapun,
jika kita berbicara tentang khazanah keilmuan atau tradisi keilmuan Islam, maka
tidak bisa lepas dari apa yang disebut dengan filsafat. Karena filsafat
merupakan metode berfikir yang berangkat dari rasa keingintahuan terhadap
sesuatu. Sebagaimana di awal sudah kita sampaikan bahwa akal yang merupakan
anugerah Allah Subhanahu wa Ta’ala haruslah digunakan sebagaimana mestinya.
Berfikir sesuai dengan petunjuk Ilahi tanpa menerobos sekat-sekat yang telah
ditentukan oleh wahyu, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Makna
filsafat di atas sesuai dengan apa yang difahami oleh sekelompok cendekiawan
bernama “Ikhwan Ash-Shafa”, yang mengartikan bahwa “filsafat itu berangkat dari
rasa ingin tahu. Adapun puncaknya adalah berkata dan berbuat sesuai dengan apa
yang anda tahu”.
Kendati
termasuk bagian dari tradisi intelektual Islam, tidak sedikit yang anti pati
terhadap filsafat. Namun seharusnya kita harus bisa memilah secara adil, mana
filsafat yang jelas diharamkan –sebagaimana filsafat sesat ala Yunani- dengan
filsafat Islam yang ternyata merupakan bagian dari khazanah keilmuan dalam
Islam.
Jika
kita menelaah secara kritis, maka akan kita dapatkan bahwa filsafat sebagai
“produk impor” yang mengandung unsur-unsur atheisme, sekulerisme, relativisme,
dan liberalisme inilah yang ditolak oleh para ulama, yang keberadaannya akan
menggiring pelakunya kepada sifat anti Tuhan dan anti agama, mendewakan akal,
melecehkan nabi, dan sebagainya.
Pada
abad kelima hijriyah, Imam Al-Ghazali mengeluarkan kritik keras dalam bukunya
“Tahafut al-falasifah”. Dimana beliau menganggap kufur tiga doktrin filsafat:
pertama, keyakinan para filsuf bahwa alam ini kekal; kedua, pernyataan bahwa
Tuhan tidak mengetahui perkara-perkara detail; dan ketiga, pengingkaran mereka
terhadap kebangkitan jasad pada hari kiamat.
Fatwa
keras yang melarang doktrin sesat filsafat juga dikeluarkan oleh Ash-Sholah,
“Filsafat adalah pangkal kebodohan dan penyelewengan, kebingungan dan kesesatan.
Siapa yang berfilsafat maka butalah hatinya akan keutamaan syari’ah suci yang
ditopang dalil-dalil dan bukti-bukti yang jelas. Siapa yang mempelajarinya
bersama kehinaan, tertutup dari kebenaran, dan terpedaya oleh setan”.
Adapun
pengertian filsafat yang bertujuan untuk membenarkan yang benar dan membatalkan
yang batil maka bisa dikategorikan fardhu kifayah. Sebagaimana rasa ingin tahu
nabi Ibrahim ‘Alaihissalam yang mendorong untuk bertanya, “bagaimana Allah
menghidupkan orang mati?” Allah pun bertanya kepadanya, “Apakah engkau belum
percaya?”, Ibrahim menjawab, “Aku percaya, akan tetapi (aku bertanya) supaya
hatiku tentram (mantap)”. Jadi, filsafat itu untuk mengokohkan yang benar dan
menghapus keraguan.
Bantahan
Filsafat Islam sebagai Footnote Filsafat Yunani
Terdapat
banyak kekeliruan dari para filsuf Barat yang menyatakan bahwa filsafat Islam
hanyalah meneruskan dari filsafat Yunani saja. Atau dalam bahasa mudahnya,
filsafat Islam hanya copy and paste dari filsafat Yunani. Benarkah demikian?
Dalam
penelitiannya tentang kurikulum pengajaran filsafat di perguruan tinggi Islam,
Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi menemukan sejumlah kekeliruan cukup mendasar, karena
berangkat dari asumsi bahwa filsafat Islam adalah sekedar kelanjutan atau
catatan kaki dari filsafat Yunani. Penelitian itu ia tuangkan dalam satu
makalah berjudul “Framework Kajian Filsafat Islam di Perguruan Tinggi”.
Hal
senada juga disampaiakan oleh Dr. Syamsudin Arif dan Dr. Dinar Dewi Kania dalam
makalahnya yang berjudul “Filsafat Islam dan Tradisi Keilmuan Islam”. Beliau
menyampaikan bahwa memang, jika ditelusuri dan diteliti karya-karyanya, para
filsuf Muslim bukan semata-mata membeo atau sekedar mereproduksi dari apa yang
mereka pelajari dari ahli pikir Yunani kuno. Mereka tidak pasif-reseptif, tidak
menerima bulat-bulat atau menelan mentah-mentah tanpa resistensi dan sikap
kritis. Sebaliknya, para pemikir Muslim semisal Ibnu Sina, Al-Baghdadi, dan
Ar-Razi mengupas dan mengurai, menjelaskan dan menyanggah, melontarkan kritik,
memodifikasi dan menyaring, memperkenalkan konsep baru, dan menawarkan solusi
baru terkait dengan filsafat Yunani kuno.
Ending
dari itu semua adalah keberhasilan para filsuf Muslim dalam mengakomodasi
khazanah keilmuan Yunani kuno dalam kerangka pandangan hidup Islam. Dengan kata
lain, mereka berupaya mengislamkannya. Maka yang terjadi adalah islamisasi
filsafat yang negatif (menghapus unsur-unsur kufur) dan memasukkan unsure-unsur
positif.
Sehingga
dengan adanya koreksi atas filsafat Yunani kuno oleh para filsuf Muslim di atas
dapat menghantarkan tradisi keilmuan Islam ke arah yang lebih cemerlang. Serta
melunturkan statement yang selama ini mencuat bahwa filsafat Islam hanyalah
tangan panjang dari filsafat Yunani kuno. Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh: Sayyaf, S.Pd.I.
Sumber: Buku Adin Husaini, Filsafat Ilmu.
Oleh: Sayyaf, S.Pd.I.
Sumber: Buku Adin Husaini, Filsafat Ilmu.
- Back to Home>
- Filsafat >
- Menyoal Konsep Filsafat Yunani